single-team-img-1

Dalam perundang-undangan yang berlaku di Indonesia saat ini, tidak ditemukan adanya pembatasan yang diberlakukan pada perempuan untuk berpartisipasi di ruang publik. Berbeda dengan zaman orde baru, di mana partisipasi perempuan di ruang publik sangat dibatasi oleh presiden berkuasa pada zaman tersebut, Soeharto. Melalui slogannya tentang “Ibuisme”, pemerintah pada saat itu mengatur peran dan ruang bagi perempuan sebatas di ranah domestik seperti melayani suami, membesarkan anak, dan mengurus rumah tangga. Jika perempuan terlibat aktif dalam komunitas di ranah politik, sebatas menjadi sistem pendukung bagi laki-laki, baik itu suami atau ayahnya sehingga menyebabkan ketimpangan gender yang luar biasa. Situasi ini disebabkan oleh konstruksi sosial budaya dan interpretasi agama yang patriarkal dan sudah berkembang secara turun temurun di masyarakat sejak ribuan tahun sehingga mengakibatkan pembatasan aktivitas perempuan di ruang publik menjadi semakin mengakar. Hal inilah yang menyebabkan terbatasnya partisipasi perempuan dalam agenda pembangunan

Situasi di atas berubah ketika era reformasi dimulai, dimana pintu demokrasi mulai terbuka dan perempuan memiliki ruang yang lebih luas untuk menyuarakan haknya. Organisasi sipil yang berjuang untuk kemajuan perempuan mulai bermunculan. Berbagai upaya untuk peningkatan partisipasi, representasi, serta akses terhadap perempuan dalam ranah sosial dan politik mulai digalakkan.

Dalam ranah institusi, kelompok perempuan dan organisasi perempuan mulai mengimplementasikan transformasi gender melalui “pengarusutamaan gender” yang diperkuat dengan adanya Beijing Platform for Action (BPFA) tahun 1995 dan Millenium Development Goals (MDGs) yang sekarang telah berevolusi menjadi Sustainable Development Goals (SDGs). Hampir semua konvensi internasional perempuan telah disetujui dan ditandatangani oleh Indonesia.

Dukungan terhadap upaya membangun kesetaraan gender diperkuat oleh negara. Pada era pemerintahan dipimpin oleh K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) di tahun 2000, Indonesia mengalami kemajuan yang sangat signifikan terhadap isu perempuan. Gus Dur mengganti nomenklatur Menteri Peranan Wanita menjadi Menteri Pemberdayaan Perempuan. Pemilihan diksi yang mencerminkan keberpihakan Gus Dur yang mendorong perempuan untuk berinisiatif dalam melakukan perubahan sosial dalam pembangunan, termasuk memperbaiki situasi dan kondisi diri sendiri. Gebrakan tersebut dilanjutkan dengan menerbitkan instruksi presiden yang mewajibkan pengarusutamaan gender (PUG) di semua bidang pemerintahan. Instruksi inilah yang menjadi embrio dari berbagai kebijakan yang berpihak perempuan, salah satunya tindakan afirmasi kuota 30% perempuan di ranah politik.

Namun, meski negara telah menginisiasi instrumen hukum untuk mendorong partisipasi perempuan dalam sektor pembangunan, namun konstruksi budaya yang patriarkal masih menjadi penghalang implementasi upaya ini. Hal ini semakin diperkuat oleh reinterpretasi agama yang tekstual dan patriarkal semakin mempertajam pembagian peran perempuan dan laki-laki di ranah domestik dan publik. Lebih jauh lagi, bahkan tidak menganggap suara perempuan sebagai sumber pengetahuan sehingga semakin menghalangi representasi dan suara perempuan di ranah publik.

Dalam kurun waktu 2 dekade terakhir, beragam upaya untuk mendorong partisipasi perempuan telah dilakukan oleh berbagai pihak seperti organisasi masyarakat sipil, komunitas, dan pemerintah melalui penguatan kapasitas kepemimpinan perempuan, membangun kesadaran tentang isu gender, dan pendampingan yang berkelanjutan. Namun, dukungan dari pihak strategis lain seperti media juga sangat dibutuhkan agar pesan-pesan tentang isu perempuan dan kesetaraan gender dapat didengar dan diakses masyarakat lebih luas sehingga berdampak pada meluasnya ruang perempuan di ranah publik.

Dalam pidatonya, Sekretaris Jenderal PBB dalam acara peluncuran "HERstory: Celebrating Women Leaders in the United Nations" tahun 2018 yang mendorong upaya kesetaraan gender dan representasi perempuan yang lebih besar di institusi PBB. Selain itu, perlu upaya bersama untuk memastikan bahwa representasi dan keterlibatan aktif perempuan harus dipastikan dalam setiap kegiatan yang dilaksanakan sehingga tidak menjadi panel laki-laki saja, atau dikenal sebagai "manel”. Menurutnya, tidak mudah bagi perempuan untuk muncul karena mereka hidup di dunia yang didominasi laki-laki. Mengubah sikap adalah salah satu tantangan paling penting dan sulit. Namun, upaya meningkatkan kesadaran akan kontribusi perempuan adalah bagian penting untuk memperbaiki ketidakseimbangan dalam budaya kita yang secara historis menomorduakan perempuan dan dikuasai laki-laki.

Terlebih di masa pandemic Covid 19 yang memberikan dampak berlipat pada perempuan. Kebijakan pembatasan sosial semakin mempersempit ruang gerak perempuan seiring dengan berlipat gandanya peran perempuan yang harus bekerja secara daring, namun harus tetap mengurus keluarga dan rumah tangga di waktu yang bersamaan. Situasi ini menuntut kita untuk memberikan akses dan ruang yanag lebih bagi perempuan untuk menyuarakan pengetahuan dan gagasannya di media online yang menjangkau publik secara luas agar tidak terjebak di dalam proses domestikasi.

Untuk mendorong upaya keterwakilan perempuan dan perluasan ruang perempuan di ranah publik, Hivos menggagas website WomenUnlimited, sebuah website yang menyediakan data terpusat tentang profil perempuan dari berbagai latar belakang seperti pendidikan, lingkungan, gender, seksualitas, perdamaian, ekonomi, politik dan lain sebagainya. WomenUnlimited diharapkan dapat berkontribusi pada ketersediaan akses data sehingga mempermudah berbagai pihak dalam mencari profil pegiat atau ahli di bidang tertentu. Dengan adanya website ini, diharapkan tidak ada lagi pihak yang mengalami kendala dalam menemukan sosok perempuan pegiat atau ahli yang memiliki kapasitas menjadi narasumber yang berpotensi meminggirkan perempuan dari arena dan percakapan publik.